Jejak Rokok Murah di Pacitan, Ketika Godaan Harga Mengalahkan Kewaspadaan

by

Pacitan – Di sebuah kios kecil di pinggiran Kecamatan Kebonagung, Senin (17/11/25) Sulastri, 42 tahun, merapikan jajaran barang dagangan sambil mengingat satu hal yang akhir-akhir ini sering dikeluhkan para pelanggan: rokok murah. “Mereka tanya kok ada yang harganya cuma enam ribu,” ujarnya pelan. “Saya bilang, saya nggak berani jual kalau nggak jelas asal-usulnya.”

Pertanyaan sederhana itu menggambarkan keresahan yang semakin terasa di banyak warung kecil di Pacitan. Dalam beberapa bulan terakhir, peredaran rokok ilegal dikabarkan makin masif menyusup lewat jalur darat, terbawa pedagang dari luar daerah, atau ditawarkan oleh pemasok keliling yang datang secara sporadis. Harga yang jauh lebih rendah dibanding rokok legal membuat banyak warga tergoda, terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan.

Bagi sebagian orang, harga murah adalah penyelamat ekonomi. Tapi di baliknya, ada risiko yang tidak selalu terlihat. Rokok ilegal kerap hadir dalam kemasan yang mencolok, namun tanpa pita cukai, tanpa peringatan kesehatan, dan tanpa nama produsen. Di tangan konsumen yang tidak curiga, produk itu dengan cepat berpindah dari bungkus ke paru-paru tanpa ada jaminan apa pun mengenai bahan yang digunakan.

Ketua DPRD Pacitan, Arif Setya Budi, menyampaikan bahwa fenomena ini perlu mendapat perhatian serius. “Jika harganya terlalu murah, masyarakat harus waspada. Semakin banyak rokok ilegal beredar, semakin besar potensi kerugian negara dan ancaman bagi kesehatan warga,” ujarnya.

Di balik setiap bungkus rokok ilegal, ada cerita yang lebih luas: tentang hilangnya penerimaan negara dari sektor cukai, tentang industri yang dirugikan, dan tentang jaringan perdagangan gelap yang memanfaatkan celah ekonomi masyarakat. Aparat dan pemerintah daerah terus menggencarkan kampanye Gempur Rokok Ilegal, namun tantangan terbesar justru datang dari rendahnya kesadaran publik.

“Kadang mereka tahu itu ilegal, tapi tetap beli karena murah,” kata Sulastri, menghela napas. Baginya, keputusan untuk tidak menjual rokok ilegal bukan sekadar soal aturan, tetapi soal tanggung jawab kepada para pelanggan yang ia layani setiap hari.

Petugas Bea Cukai Pacitan menegaskan beberapa ciri yang dapat dikenali masyarakat: tidak adanya pita cukai, penggunaan pita palsu atau bekas, harga yang jauh dari standar, serta kemasan yang tidak mencantumkan produsen maupun peringatan kesehatan resmi. “Jika menemukan hal-hal seperti itu, jangan ragu melapor. Partisipasi warga sangat menentukan,” ujar seorang petugas.

Sementara itu, para penjual kecil seperti Sulastri hanya bisa berharap agar masyarakat semakin paham risiko yang mengintai. “Kalau terus ada yang beli, ya terus ada yang jual,” katanya. Di warung mungilnya, ia memilih untuk menolak godaan keuntungan instan, meski harus bersaing dengan produk-produk ilegal yang beredar bebas di luar sana.

Di Pacitan, rokok ilegal bukan lagi sekadar isu penegakan hukum. Ia telah menjadi cerita tentang pilihan antara harga murah dan keamanan, antara keuntungan sesaat dan keselamatan jangka panjang, antara membiarkan atau turut mengakhiri. Dan pada akhirnya, pilihan itu kembali kepada masyarakat yang memegangnya di ujung jari.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.